Wednesday, December 7, 2016

Tentang banjir Jakarta dll

Saya sudah tinggal cukup lama di Jakarta, yah, paling tidak cukup lama untuk bisa merasakan perubahan yang terjadi di kota ini. Salah satunya adalah masalah klasik kota ini : banjir.

Akhir September 1995 saya mulai bekerja di Jakarta sambil ambil kursus di beberapa tempat. Kalau saya tidak salah ingat, awal tahun 1996 saya mulai merasakan apa itu yang namanya banjir. Di kota asal saya, Solo, tidak pernah saya mendapat pengalaman begini. Karena semua orang di Jakarta menganggap banjir ini bagian dari kehidupan Jakarta, ya saya nikmati saja. Saya tetap rajin pergi bekerja dan kursus, baik banjir atau tidak, selama kantor dan tempat kursus itu buka. Saya paling suka kalau diajak berfoto bersama di dalam rumah yang kebanjiran, untuk kenang-kenangan.

Lalu ada cerita bahwa banjir Jakarta ini sudah menjadi agenda lima tahunan. Dan memang benar. Tahun 2002 dan 2007 banjir lima tahunan itu datang. Setelah itu, kalau saya tidak salah ingat lagi, banjirnya sudah bukan lima tahunan lagi, tapi hampir tiap tahun.

Oktober 2012 saya menaruh harapan besar pada duet gubernur dan wakilnya, Jokowi - Ahok.

[Karena saya sudah lama di Jakarta, jadi tidak bisa mengalami perkembangan kota Solo di bawah kepemimpinan Jokowi waktu beliau menjabat walikota. Tapi pernah dengar ayah cerita bahwa kakaknya bilang "Walikotane Solo sing saiki hebat." Maka waktu libur Lebaran tahun 2011, setelah saya sempat ke Solo, jadi terkagum-kagum melihat perkembangan kota yang saya tinggali dari tahun 1974 sampai 1995 itu. Pasar Nusukan dekat tempat tinggal saya dulu bangunannya sudah modern dan jalanan kecil tempat rumah saya dulu sudah diaspal bagus.]

Awal 2013 Jakarta masih banjir, tapi saya tidak berputus harapan. Gubernurnya masih baru, harus diberi kesempatan dan waktu. Benar saja, setelah waduk pluit dirapikan, banjir di daerah saya lumayan berkurang.

Januari -Pebruari 2014 ternyata Jakarta masih banjir. Bedanya - paling tidak di daerah saya - banjirnya 3 hari (18-19-20 Januari 2014) lalu surut; tanggal 29 Januari 2014 banjir sehari lalu surut, dan terakhir 2 hari tanggal 4-5 Pebruari 2014 lalu surut. Huh, capek harus membersihkan lumpur berkali-kali. Kalau dulu banjirnya sekalian 2 minggu nggak surut-surut, jadi membersihkan lumpurnya hanya sekali.

Tahun 2015 banjirnya berkurang lagi, jadi hanya 2 hari (9-10 Pebruari 2016). Sekitar pertengahan tahun 2015 ini juga dibangun tembok/tanggul sepanjang kali dekat rumah saya. Jadi kalau air kali meluap, tidak langsung masuk ke pemukiman seperti dulu, karena sudah ada tanggulnya. Saya terpesona sekali dengan adanya tanggul ini karena tidak terpikir bahwa sungai kecil sepanjang ini bisa dibangunkan tanggul sama pemerintah. Sebagai orang awam, saya tadinya tahunya tanggul itu hanya dibangun dekat pantai sana, seperti cerita dari negeri Belanda. Itu, yang bendungannya retak rambut, lalu ada seorang penduduk yang terpaksa berdiri menutup lubang kecil tersebut dengan jarinya sampai bantuan datang.

Sejak tanggul itu ada, pemukiman tempat tinggal saya belum pernah terendam banjir lagi. Karena sungainya juga rutin dibersihkan, jadi belum pernah meluap juga. Setiap hari Minggu pagi kalau saya lewat di sungai itu, pasti ada petugas yang sedang memunguti sampah dari permukaan sungai. Saya miris melihat sampah-sampah yang seakan tidak ada habisnya itu, dari mana datangnya, siapa yang masih tega buang sampah sembarangan ke kali...

Sejak tanggul itu ada, biarpun hujan lebat beberapa jam, tempat tinggal saya masih belum kebanjiran. Apa hujannya kurang lama atau memang jarang hujan di Jakarta. Soalnya saya pingin (... tapi nggak pingin banget) melihat air sungai naik tinggi dan apakah tanggulnya kuat menahan.

Tapi soal belum banjirnya lagi daerah saya ini bukan karena adanya tanggul saja. Selain petugas yang rutin membersihkan sungai, got-got dan saluran air juga rutin dibersihkan. Kalau dulu warga harus kerja bakti dulu, sekarang warganya jadi malas, karena sudah ada petugas yang membersihkan. Jalanan yang dulu tidak ada hujan pun tergenang, sekarang garing ring. Malah barusan ada got-got yang dibongkar dan diperbesar... dipasangi U-Ditch, itu semacam cetakan dari beton untuk saluran air.

Pekerja-pekerja di tempat kerja saya biasanya lewat suatu jalan tertentu yang kadang tidak ada hujan pun jalanan itu tergenang. Dulu sehabis hujan malam hari, paginya saya biasa tanya ke salah satu pekerja, "Banjir ndak, Pak?" Jawabnya: "Biasalah di depan situ. Harus memutar cari jalan lain." Kalau sekarang ditanya, "Banjir ndak, Pak?" Jawabnya: "Ya nggak lah. Kan got-got-nya sekarang dalam."

[Kalau dulu cara bodon untuk mengatasi banjir yang melanda rumah masing-masing ya saingan tinggi pondasi rumah sama tinggi jalan. Kalau jalanannya tergenang banjir, jalanannya ditinggikan. Setelah jalanan ditinggikan, pemilik rumah yang ada di sepanjang jalan itu harus menambah tinggi pondasi rumahnya. Kalau dia belum punya dana untuk menambah tinggi pondasi rumahnya, ya siap-siap saja rumahnya kebanjiran kalau genangan di jalanan mulai naik. Begitu terus. Sampai ada pemilik rumah yang waktu merenovasi, sekalian bikin pondasinya tinggi 2 meter. Saya pernah ditunjukin rumah yang kelihatan kalau sudah lama tidak ditengok pemiliknya, ini di daerah Semarang, dekat pantai, waktu saya naik mobil travel mau ke bandara; rumah itu dari jalanan kelihatan atapnya saja. Para tetangganya sudah berlomba-lomba menaikkan pondasi rumah, mungkin tiap tahun, balapan dengan tinggi jalan. Kalau pemerintah daerahnya bagus, seharusnya bukan jalanan yang ditinggikan, tapi drainase yang diperbaiki. Drainase harus diperbesar dan diperdalam, serta harus dimaintanen dengan baik, dibersihkan secara rutin. Kalau semua disuruh pengembang yang mengerjakan, hasilnya sepertinya kurang bagus. Lha wong kontraktornya saja bangun rumah asal-asalan. Rumah kecil yang saya beli di Kabupaten Tangerang itu, waktu serah terima, saya menemukan beberapa kebocoran serta finishing aciannya kasar dan bergelombang. Dikasih formulir komplain sih, saya isi, tapi dibilangi tetangga, bahwa komplainan saya tidak bakalan ditindaklanjuti. Setelah 3 bulan didiamkan, akhirnya saya kerjain sendiri saja daripada bikin stress.]

Keadaannya sekarang berbalik. Dulu masa kecil saya di Solo, saya senang sekali kalau hujan deras. Saya senang menikmati suara hujan dan efeknya menimpa tanaman dan bebatuan. Setelah tinggal di Jakarta, setiap hujan deras sebentar, saya pasti tidak bisa tidur dan sebentar-sebentar harus melihat keluar jendela melihat apa di jalanan sudah ada genangan, tingginya seberapa, dan apakah sudah perlu memindahkan barang-barang atau tidak. Sudah setahun ini saya tidak kuatir lagi kalau hujan deras turun selama 2 jam. Bahkan orang-orang tua yang sudah tinggal di daerah ini sejak tahun 1970-an heran kenapa bisa tidak banjir lagi. Kebalikan sama saudara dan teman-teman yang tinggal di Solo yang sekarang was-was kalau hujan deras turun.

Dulu waktu Jokowi maju jadi calon gubernur DKI, kesan pertama saya sama orang yang dipilih jadi wakilnya kurang bagus. Saya sempat kesal, mau apa nih orang minoritas di pemerintahan. Kesan baik saya mulai tumbuh saat Jokowi diwawancara di Mata Najwa dan disuruh menggambarkan wakilnya itu dengan satu kata. Kata yang dipilih Pak Jokowi adalah: "Bersih."

Kemudian dari perkembangannya saya dengar macam-macam cerita tentang Pak Ahok vs DPRD DKI. Kalau soal gaya bicaranya bagi saya tidak ada masalah karena saya ada kenalan 3 orang Belitung yang cara ngomongnya kurang lebih sama. Memang gaya sana mungkin. Tapi satu lagi yang bikin saya terkesan adalah cerita teman kerja saya, teman sekantor, tentang urusan pemakaman umum DKI. Habis ribut-ribut berita di TV tentang adanya makam fiktif, kakak teman saya ini meninggal. Bulan Januari 2016 untuk memperpanjang sewa makam ibunya yang meninggal 2 tahun lalu, teman saya masih mengeluarkan uang 700 ribu rupiah. Kelas III itu. Namun ketika kakaknya meninggal, teman saya hanya membayar 100 ribu rupiah yang harus ditransfer lewat bank. Pengurusannya juga tidak susah, katanya.

Saya biasanya suka iseng nanya ke pesuruh kantor kalau mau pemilihan umum. "Pilih siapa?" Jawabannya di Pilgub 2012 dan Pipres 2014 tetap sama: "Ah, sama saja siapa pun yang jadi pemimpinnya." Tapi akhir-akhir ini kelihatannya dia sudah menyadari bahwa kalau pemimpinnya baik, hasilnya ternyata beda juga dan masyarakat biasa bisa merasakannya.

Monday, October 3, 2016

Membuat KTP DKI Jakarta

Saya sebetulnya sudah lama tinggal di Jakarta karena bekerja, cuma karena belum menikah jadinya selama ini ngikut Kartu Keluarga (KK) orang tua. Dari Solo pindah ke Kabupaten Bogor dan pindah lagi ke Blora. Tiga tahun yang lalu sebetulnya orang tua pindah lagi ke Solo, tapi karena KTP mereka sudah ada tulisannya 'Seumur Hidup' jadi ayah saya males ngurus tetek bengek surat-surat perpindahan. Soal BPJS, kata ayah bisa dibantu dibuatkan surat keterangan dari RT, jadi biar sajalah pakai status warga Blora saja.

Saya sudah rekam data e-KTP empat tahun yang lalu di Blora. Karena saya bekerja di Jakarta, jadi perekaman data tersebut saya lakukan sewaktu libur lebaran. Beberapa bulan kemudian sewaktu saya pulang Blora karena libur Natal, saya tanyakan ke kelurahan dan kecamatan, katanya belum jadi. Bahkan yang rekam data sebelum saya pun belum jadi juga. Setelah itu orang tua pindah rumah ke Tangerang dulu lalu pindah lagi ke Solo, jadi saya tidak tahu jadinya bagaimana e-KTP saya itu, apakah akhirnya jadi atau tidak.

Karena KTP saya masih belum e-KTP, tahun ini masa berlakunya habis. Status saya masih terdaftar jadi warga Blora, tapi orang tua ada di Solo, jadi saya kesulitan mengurus KTP yang baru. Mau menanyakan soal e-KTP pun susah juga. Akhirnya saya putuskan pindah saja ke Jakarta. Pindah seorang diri.

Saya meminta tolong orang untuk mengurus dokumen surat pindah dari Blora. Sempat kuatir juga kalau perlu bikin SKCK, tapi ternyata tidak. Kemendagri sekarang kan sudah punya data sidik jari penduduk, jadi saya pikir masuk akal juga kalau tidak diminta bikin SKCK. Untuk dokumen dari daerah asal ini saya keluar uang Rp 250.000,- sudah termasuk ongkir dokumen dari Blora ke Jakarta pakai JNE. Sekitar 2 mingguan, dokumennya jadi.

Lalu saya tanya ke paman saya di sini yang pernah jadi pengurus RT/RW, katanya saya perlu bikin surat pengantar RT/RW. Jadi pergilah saya ke rumah Pak RT. Saya ketok-ketok pagar rumahnya agak lama, lalu dikasih tahu orang bahwa rumah itu kosong. Orangnya sakit stroke. Saya tanya tetangga, ternyata dia juga pernah ke rumah Pak RT, ngetok pagar, tidak dibukain pintu juga. Saya pertimbangkan apakah mau minta tolong hansip saja, karena beberapa hari lagi awal bulan, hansipnya bakal datang nagih iuran bulanan.

Besoknya ketemu paman saya yang lain, bekas pengurus RT/RW juga. Katanya dia kenal Pak RW di lingkungan saya karena mereka berdua berasal dari daerah yang sama. Kami berdua pun ke sana dan tidak ketemu karena Pak RW sedang terapi (gejala stroke juga). Sorenya saya paranin lagi rumahnya dan tidak ketemu lagi karena Pak RW sedang nengok pabriknya di Tangerang. Besoknya saya ke rumah Pak RW lagi dan tidak ketemu lagi karena sedang ke Tangerang lagi. Besoknya lagi saya ke rumah Pak RW lagi dan ketemu satu warga lain yang juga perlu ketemu Pak RW --> paling tidak beliau ada di rumah. Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya ketemu juga dan saya utarakan kesulitan saya menemui Pak RT. Oleh Pak RW disuruh menemui sekretaris RT, dikasih ancer-ancer rumahnya dan nomor telepon. Tadinya mau dibantu telepon, tapi karena dekat dan saya sungkan Pak RW ngabisin pulsanya buat saya, saya bilang tidak usah ditelepon dan saya langsung samperin saja.

Setelah nanya sana-sini - karena sekretaris RT tinggalnya di rumah petak, akhirnya ketemu juga rumahnya. Orangnya pas ada dan langsung membuatkan surat pengantar. Beliau bahwa menanyakan, apakah saya mau mengurus sendiri atau dibantu pengurusannya. Saya pertimbangkan sebentar lalu saya putuskan untuk mengurus sendiri karena dengar-dengar katanya sekarang mengurus dokumen di Jakarta mudah. Saya mau coba dulu mengurus sendiri, nanti kalau ada kesulitan baru pakai jasa orang. Dari sekretaris RT, saya langsung balik ke tempat Pak RW, mumpung orangnya ada, untuk minta cap. Di tempat RT/RW ini saya hanya keluar uang suka rela, jadi tidak saya tulis jumlahnya, namanya juga suka rela. [Sama teman kantor sudah diwanti-wanti sebelumnya, jangan lupa kasih uang rokok di tempat RT/RW.]

Oh ya, sama sekretaris RT diberi tahu bahwa saya harus punya KK penjamin. Penjamin harus tinggal di kelurahan yang sama dengan tempat saya mengajukan. Jadi saya pinjam salah satu KK paman saya.

Setelah dapat surat pengantar RT/RW saya ijin sama bos untuk ke kantor kelurahan. Di kelurahan dikasih formulir 'Formulir Permohonan Pindah Datang WNI' dan disuruh isi. Berkas-berkas saya serahkan semua. Sama petugasnya disuruh balik lagi besoknya karena Pak Lurahnya sedang tidak ada di tempat. Kebetulan besok hari Selasa dan saya harus jaga kantor sampai paling tidak jam 10.30 pagi, kalau habis itu ke kelurahan sudah kesiangan. Jadi hari Rabu saya baru ke kelurahan lagi ambil berkas. Dari kelurahan saya disuruh ke Sudin Dukcapil di Meruya.

Dari tempat saya ke Meruya lumayan jauh juga dan saya juga tidak hapal jalan, jadi saya pesan ojek online. Sempat salah pesan yang antaran paket, kata mas ojeknya harganya lebih mahal; tapi kalau saya batalin lalu pesan lagi jangan-jangan mas-nya ganti juga... Tidak enak kan wong orangnya sudah datang, lagian itu salah saya. Jadi tetap berangkat. Masih untung mas-nya mau bawa saya, yang bobotnya lebih dari 7 kg.

Sampai Dukcapil, nanya ke informasi dan diberitahu saya harus ke loket 4 yang judulnya 'Pendatang Baru'. Untung tidak ada antrian. Setelah berkas saya diperiksa, diberi tahu petugasnya bahwa formulir dari kelurahan itu ada kekurangan, yaitu petugas registrasinya belum tanda tangan. Konyol juga sih. Tapi saya maklum karena saya kadang melakukan kesalahan juga di pekerjaan. Yang penting bisa diperbaiki. Selain kekurangan tersebut, di Dukcapil saya diberi satu lembar formulir yang judulnya 'Surat Pernyataan Jaminan Tempat Tinggal Penduduk WNI' yang harus diisi.

Pulang dari Dukcapil, saya naik kendaraan umum. Saya untung-untungan saja jalan ke arah tempat saya datang tadi dan setelah menunggu sebentar ada angkot merah no.10 lewat. Saya langsung naik dan bilang ke supir bahwa saya mau ke Grogol, enaknya turun di mana? Kata supir, angkotnya habis di Taman Kota Daan Mogot. Jadi saya naik sampai tujuan akhir, lalu ganti naik TransJakarta ke Grogol lalu transit arah Pluit dan turun di Season City.

Lalu siang itu juga saya ke kelurahan lagi dan karena petugas registrasi yang harus tanda tangan sedang ke kecamatan, berkasnya saya tinggal dulu dan akan saya ambil besok paginya.Sementara itu saya mengisi formulir 'Surat Pernyataan Jaminan Tempat Tinggal Penduduk WNI' lalu minta tanda tangan paman saya yang jadi penjamin (yang saya pinjam KK-nya).

Esok paginya saya ke kelurahan lagi untuk ambil berkas. Sempat ditanya juga oleh petugas registrasi yang seharusnya tanda tangan itu, kenapa belum ada tanda tangannya kok sudah ke Dukcapil... Saya jawah, saya kan tidak tahu. Saya kira memang bagian itu kosong dan akan diisi petugas di Dukcapil.

Dari kelurahan, saya langsung ke Dukcapil lagi. Kali ini diantar kurir kantor yang kebetulan sedang menganggur, tentu saja dengan ijin bos. Jalur yang ditempuh teman saya ini saya lihat lebih dekat daripada yang ditempuh tukang ojek online lalu. Kali ini di Dukcapil, yang tetap tidak antri, berkas diperiksa sebentar dan sudah OK dan disuruh balik 14 hari kerja lagi.

Dua puluh lima hari kemudian saya balik ke Dukcapil dan kali ini ada antrian yang lumayan banyak. Antriannya tidak panjang karena memang model antriannya tidak teratur. Pokoknya berkas taruh di meja petugas lalu tunggu sampai nama dipanggil. Mungkin karena takut tidak dengar kalau namanya dipanggil, jadi banyak orang, termasuk saya, berkerumun di sekitar meja sang petugas. Sialnya, karena saya datangnya agak siang - tadinya saya ijin bos mau berangkat jam 9 pagi naik ojek online, tapi sama bos disuruh tunggu kurir kantor yang sedang disuruh ke bank, jadinya jam 10 lebih baru berangkat [di kantor saya memang sibuk kalau pagi, biasanya saya bisa pergi setelah rutinitas saya selesai. Jadi ingat kisah Cinderella yang tidak boleh berangkat ke pesta kalau pekerjaannya belum selesai.] - sehingga setelah menunggu sekitar 1 jam, giliran saya masih belum tiba juga dan malah kena jam istirahat. Jadinya harus menunggu selama 1 jam. Selama itu saya duduk di dalam kantor Dukcapil dan menguping pembicaraan orang. Ada yang datanya dobel, ada yang salah data, dll. Sebetulnya tepat sebelum istirahat itu, berkas saya sudah dipegang petugasnya. Berkas itu disisihkan ke samping dan harusnya ditangani oleh siswa yang sedang PKL di situ. Cuma karena sudah hampir jam istirahat, saya lihat siswa tersebut sedang ngobrol sama temannya. Saya pingin manggil sebetulnya, tapi akhirnya tidak jadi. Petugasnya sendiri saya lihat memang cukup kerepotan juga karena berkas-berkas yang di depannya memang lumayan menggunung. Habis istirahat, nama sayalah yang pertama kali dipanggil. Saya dapat selembar dokumen yang judulnya 'Surat Keterangan Datang WNI Antar Provinsi'. Petugasnya pesan bahwa saya harus ke kelurahan lagi.

Dari Dukcapil ini saya langsung menuju kelurahan. Setelah melapor ke petugas, langsung dikasih nomor antrian. Karena saya datangnya siang sekitar jam 2, dapat nomor antrian 177. Jadi saya pulang dulu (lagipula belum makan siang) dan besoknya saja ke kelurahan lagi. [Tadinya saya pikir berkas itu cuma ditinggal saja, eh ternyata disuruh antri.]

Esok paginya sekitar jam 9 pagi, setelah pekerjaan beres, saya ijin sama bos untuk ke kelurahan. Langsung ambil nomor antrian dan dapat nomor 21. Setelah menunggu sekitar satu jam, giliran saya tiba. Ditanya sama petugas yang ngrekam data, mau gabung KK dengan penjamin atau bikin KK sendiri. Saya minta KK sendiri karena rumahnya toh lain. Lalu saya diminta untuk memfotokopi berkas saya sebanyak 2 rangkap. Saya pergi fotokopi lalu langsung masuk lagi (tidak usah antri) dan langsung diproses. Saya bilang saya sudah pernah rekam data, dan dicari, dan ketemu datanya. Jadi tidak usah foto dan rekam sidik jari dan mata lagi. Kata petugasnya lusa KK sudah jadi, kalau e-KTP saya harus tanya petugas di depan. Mungkin karena e-KTP jadinya lama jadi dia tidak mau tanggung jawab, daripada diomeli orang banyak.

Lusa itu berarti Jumat, tapi Seninnya saya baru balik ke kelurahan lagi. Alhasil KK saya masih belum jadi. Sama petugas di depan saya disuruh tanya ke petugas rekam data yang janji sama saya itu. Ternyata jawab petugas rekam data, blangkonya tinggal 2 jadi dia tidak berani cetak. Emang sih, saya lihat memang hanya ada 2 lembar blanko KK di printernya.

Sekalian saya tanya ke petugas di depan kapan e-KTP saya jadi. Dijawab awal tahun depan. Jadi waktunya sekitar tiga bulan. Semoga dalam kurun waktu ini kartu ATM saya tidak tertelan. Yang jelas saya tidak bisa beli tiket kereta api sampai KTP saya jadi.

Kenapa ya tinggal nge-print saja lama sekali. Saya heran kenapa Mendagri minta supaya Dukcapil/kelurahan/kecamatan mengajukan dulu jumlah blanko yang diperlukan. Kalau begitu caranya ya selamanya tidak bisa langsung jadi.

Kebetulan saya tinggal di kantor, jadi lumayan dekat kantor kelurahannya. Jadi saya kalau ijin sama bos, tidak lama perginya. Coba kalau saya bikin e-KTP di Kabupaten Tangerang --> karena saya sedang nyicil rumah di sana. Berapa hari saya mesti ijin tidak masuk kantor? Ujung-ujungnya ya bayar biro jasa lagi.

Tapi paling tidak selain wira-wiri berkali-kali yang belum ada hasilnya, saya tidak keluar uang sepeser pun. Sepeda motor yang dipakai bolak-balik ke kelurahan pun hasil pinjam karena memang saya tidak punya kendaraan pribadi.

Saya ada kenal 1 tukang yang tidak punya KTP. Tahun lalu waktu anaknya mau menikah, dia perlu punya KTP. Lalu dia ijin sama bos-nya pergi ke Kabupaten Bogor untuk bikin surat pindah, untuk keperluan mengurus bikin KTP Jakarta. Tentu saja dia pulang dengan tangan kosong. Akhirnya sampai sekarang dia tidak punya KTP. Waktu itu ditawarin untuk mengurus tapi bayar 1 juta. Kalau buat dia sih, lebih baik tidak punya KTP daripada harus keluar uang segitu. Masuk akal juga harus bayar segitu karena memang harus sering bolak-balik sih ya.

Kalau bisa ngurus surat pindah di daerah asal dalam 1 hari dan di daerah kedatangan mengurusnya selesai 1 hari juga, bolehlah. Kita yang karyawan kerja sama orang ini jadi tidak rikuh ijin bolak-balik cuma ngurus bikin KTP doang.

Update: Hari ini 5 Januari 2017 coba ke kelurahan nanyain apa KTP saya sudah jadi. Ternyata belum dan disuruh tanya lagi bulan April nanti.... Iki megawe opo....

Update: Setelah bolak-balik tiap beberapa bulan sekali nanyain ke kelurahan, akhirnya hari ini 6 Juni 2018 waktu saya tanyakan eKTP saya sudah jadi. Lega rasanya. Tanggal cetaknya 14 Mei 2018, jadi dicetak dalam 2 hari kerja setelah terakhir saya ke kelurahan tanggal 9 Mei lalu.

Thursday, August 4, 2016

Ketinggalan pesawat karena tidak bisa check-in...salah siapa?

Seperti yang kita ketahui bersama, tanggal 31 Juli 2016 lalu ada delay parah di Maskapai Lion Air. Dari berita diketahui bahwa ada 5 penerbangan yang tertunda.

Kebetulan ada urusan pekerjaan di Manado. Saya yang mengurusi pembelian tiket pesawat. Setelah janjian dengan pembeli di Manado, diputuskan bahwa 2 orang karyawan kami berangkat naik Lion Air dari Cengkareng ke Manado tanggal 1 Agustus 2016 jam 5.00 pagi. Jadwalnya jam 9.20 harusnya sudah sampai Manado.

Jam 3 pagi pekerja yang akan ke Manado sudah berangkat dari start point di Jakarta Barat dan sekitar setengah jam kemudian sudah sampai di bandara. Kira-kira jam 10 pagi, pembeli yang di Manado menelepon menanyakan apakah pekerja dari Jakarta dari bandara Sam Ratulangi naik taksi ke lokasi di Holland Village, atau naik apa, kenapa belum sampai? Saya langsung menelepon salah satu pekerja dan dijawab bahwa mereka masih ada di bandara Cengkareng. Saya kaget juga. Memang pagi itu ada berita delay pesawat Lion Air, tapi terjadinya kemarin; ternyata pekerja kami kena juga. Saya kabari pembeli yang di Manado dan untungnya pembeli bisa maklum.

Akhirnya pekerja kami berangkat juga jam 17.30 WIB dari Cengkareng dan sampai di Manado lewat tengah malam (sekitar jam 1) dan untung di lokasi masih ada pekerja yang lembur yang menawarkan share kontrakan untuk beristirahat. Kemarin siang pekerja kami sudah menyelesaikan pekerjaan di Manado, pulang naik Lion Air lagi (untung penerbangan ini tepat waktu) dan pagi ini sudah masuk kantor kembali.

Pada tanggal 1 Agustus 2016, dari berita saya dengar bahwa 5 penerbangan yang tertunda tersebut hanya dari yang tanggal 31 Juli 2016 saja dan di tanggal 1 Agustus 2016 jadwalnya sudah lancar. Tapi kenapa pekerja kami tidak bisa berangkat tepat waktu? Kemudian siangnya saya baca bahwa ada banyak penumpang yang marah karena ketinggalan pesawat jurusan Manado.

http://news.prokal.co/read/news/1098-parah-penumpang-lion-air-mengamuk-pilot-disandera.html
JAKARTA - Penumpang pesawat Lion Air tujuan Manado, Senin (1/8) pukul 05.00 WIB mengamuk di Bandara Soekarno - Hatta Cengkareng Tangerang - Banten. 
Puluhan penumpang itu tak terima ditinggal pesawat, sementara keterlambatan kedatangan bukan karena kesalahan penumpang, namun karena layanan saat pelaporan yang menumpuk. 
"Jangan pimpong saya. Tunjukkan yang mana orangnya yang harus bertanggung jawab," bentak penumpang dengan nada tinggi di tengah kepadatan konter check in bandara ini. 
Penumpang ini ditinggal pesawat hanya karena kepadatan di terminal yang tidak terhindarkan. 
Tak hanya penumpang tujuan Manado, Penumpang tujuan kota lain seperti Balikpapan pun ada yang tertinggal hanya karena sudah terlalu lama dalam antrean check in. [...]
- - - - - - - - - - - - - - 
Saya cemas juga waktu baca berita tersebut, waduh jangan-jangan pekerja kami termasuk yang ketinggalan pesawat. Cuma saya memang tidak langsung telepon mereka karena mereka pasti juga sedang kesal, tidak enak hati... Saya sendiri kalau sedang di luar juga kesal kalau ada yang telepon-telepon hp, apalagi kalau urusannya tidak begitu penting. Kalau ketinggalan pesawat, tentunya maskapai bisa berkilah kalau itu bukan salah mereka. 
Akhirnya setelah mereka pulang dan kami ketemu lagi, salah satu dari mereka bercerita bahwa di tanggal 1 Agustus tersebut, jam 3.30 pagi mereka sudah mau check-in tapi tidak bisa karena antriannya panjang sekali. Sudah menunggu satu jam lebih tapi antriannya bergerak maju pun tidak. Bahkan kemudian terdengar panggilan terakhir pesawat JT0770 tersebut. Tapi bisa apa? Meja check-in yang dibuka hanya 3. Di antrian sebelah juga ketemu orang yang akan menumpang pesawat yang sama, yang bisa ditebak, tentunya dia bakal ketinggalan juga. Biasanya hati agak ayem kalau ketemu orang yang senasib sependeritaan. Mendingan lah kalau bisa telat berjamaah.
Saya tanya pada sang pekerja: tentunya dapat kompensasi dong? Nasi kotak dapat?
Ternyata tidak dapat apa-apa sama sekali karena, katanya, kesalahan bukan pesawatnya yang delay. Memang iya sih, peraturan menteri perhubungan itu hanya tentang kompensasi yang akan diterima penumpang kalau pesawatnya terlambat.
Kasihan sekali pekerja kami ini. Penerbangan tertunda 12 jam lebih dan karena dia kelas pekerja, jelas saja sayang membeli makanan di dalam bandara yang jelas mahal. Dia tanya pada orang yang membeli nasi kotak, berapa harganya? Dijawab: 40 ribu rupiah. Tentunya si pekerja tidak berani mengeluarkan uang sebanyak itu untuk sekali makan. Untungnya waktu berangkat, anaknya sempat membekali beberapa potong roti tawar. Roti inilah yang menjadi ganjal perut selama 12 jam, itu pun harus dibagi dengan pekerja satunya.
Saya berharap ke depannya ada kebijaksanaan, bagaimana kalau penumpang tertahan di bandara karena penumpang menumpuk dan menyebabkan tidak bisa check-in? Apakah maskapai bisa lepas tangan begitu saja dan tidak memberikan kompensasi sama sekali? 
Mungkin perlu ada mesin check-in mandiri, sejenis mesin cetak tiket mandiri di stasiun kereta api; sehingga yang tidak ada bagasi bisa melakukan check-in sendiri. Hal ini tentunya membantu mengurangi antrian. Tidak semua orang mempunyai smartphone, tablet atau laptop, sehingga keberadaan mesin check-in mandiri mungkin bisa membantu.
Kalau saya pribadi sih lebih memilih naik Garuda, yang meskipun kadang delay juga tapi masih bisa lebih diandalkan daripada Lion Air; tapi kalau untuk pekerjaan, memang kami selalu memilih tiket yang murah karena bakal minta ganti ke pembeli. Tidak etis tentunya kalau saya membeli tiket yang paling mahal. 

Wednesday, May 4, 2016

Review dana di Tokopedia

Sudah sering belanja barang lewat Tokopedia, baru kali ini kena masalah. Saya merasa belanja di Tokopedia lebih aman dan nyaman karena:
1. Ada semacam fasilitas rekening bersama. Uang disimpan oleh Tokopedia sampai pembeli menerima barang.
2. Ada batas waktu pengiriman. Kalau terlalu lama langsung batal.
3. Harga bisa diurutkan dari yang termurah

Pernah beberapa tahun yang lalu waktu sedang musim speaker kaleng minuman dan banyak sopir truk yang mangkal di depan pada nitip, ada 1 buah yang cacat produknya. Sempat bingung bagaimana cara komplainnya. Setelah nanya ke CS Tokopedia, langsung dimunculin tombol buat komplain. Tombol ini akhirnya tidak jadi saya pakai karena seller speakernya mau mengganti barang yang cacat tersebut.

Beberapa minggu yang lalu, TV LED 22" Samsung saya mulai rusak, padahal umurnya baru 3 1/2 tahun. Kalau dinyalakan, masih mau sih, tapi harus ditunggu sekitar 10 menit dulu - itu pun posisinya kadang harus dibaringkan dulu. Sepertinya ada korslet di tombol powernya - entahlah saya tidak begitu tahu. Mungkin bisa diservis, tapi setelah dipikir-pikir mendingan beli baru. Seperti biasanya kalau saya punya barang merk A rusak, saya agak sedikit trauma dengan merk tersebut dan beli baru dengan merk B.

Saya memang tidak punya kendaraan, jadi lebih suka beli secara online. Setelah bayar, tinggal nunggu barangnya diantar kurir.

TV Samsung yang lama dulu beli di Bhinneka. Pengirimannya sekitar 10 hari kalau tidak salah, jadi saya tidak mau order di situ lagi karena perlu cepat.

Saya cari di Tokopedia dan tertarik dengan TV LED 24" merk Sharp. Ukurannya sedikit lebih besar dari yang lama, tapi masih muat ditaruh di atas meja. Saya pilih merk Sharp karena mesin cuci saya merk Sharp sudah 3 tahun lebih masih bisa bekerja dengan baik.

Di Tokopedia harganya saya urutkan dari yang termurah dan akhirnya nemu satu toko. Lokasi fisiknya di Pasar Minggu atau Pancoran, kalau tidak salah, saya tahu karena ada calon pembeli lain yang nanya di tempat diskusi. Kebetulan bulan April kemarin sedang ada promo gratis ongkos kirim, jadi saya usahakan ngumpulin dana supaya bisa beli di bulan April. Jadilah, saya order TV tersebut. Beratnya 6 kg, saya pilih kurir TIKI dengan ongkos kirim 6 x Rp 7.000,-/kg = Rp 42.000,- Tapi karena ada promo, jadi Rp 42.000,-nya gratis. Kena asuransi 8 ribu sekian, yang tidak gratis, tapi tidak apalah.

Tanggal 26 April 2016 pagi saya setor uang ke bank dulu supaya cukup dananya, baru order ke Tokopedia. Siang hari waktu istirahat kantor, TV sudah datang. Ternyata penjual tidak menggunakan TIKI tapi diantar kurir toko pakai motor. (Lokasi saya di Grogol) Yah, mungkin dengan ongkos Rp 42.000,- dari Pasar Minggu ke Grogol masih nutup. Saya sendiri merasa senang karena barang yang saya beli langsung tiba.

Beberapa tahun yang lalu juga pernah punya pengalaman sama. Saya order T-shirt via online. Penjualnya sebetulnya dekat di daerah Jembatan Besi, tapi karena saya toh tidak punya kendaraan ya mendingan bayar JNE, waktu itu masih Rp 6.000,- Tapi akhirnya oleh si penjual langsung diantar sendiri pakai sepeda motor, soalnya ongkos bensin menuju ke tempat saya tidak sampai Rp 6.000,-

Kembali ke cerita di atas. Setelah TV baru tiba, seperti biasa setelah menerima paket barang yang saya beli lewat Tokopedia, saya konfirmasi bahwa barang sudah sampai. Harapan saya ya, semoga penjual bisa segera menerima uang pembayarannya.

Keesokan paginya, saya di-telepon si penjual TV, katanya uang pembayaran tersebut ditahan Tokopedia dengan alasan saya dan penjual bekerja sama memanipulasi penjualan demi voucher gratis ongkos kirim. Saya bingung juga... ini kenapa.... Setelah googling, ternyata banyak juga yang uangnya ditahan pihak Tokopedia dengan alasan sedang di-review. Sayangnya review ini tidak ada target batas waktunya.

OK-lah kalau memang si penjual salah* karena tidak mengirim barang melalui kurir yang saja tunjuk sebelumnya (TIKI), ya voucher Rp 42.000,- nya saja yang hangus. Uang pembayaran TV kenapa ikut ditahan? Itu kan hak sang penjual.

(*Yang jelas ini bukan salah saya)

Mengapa saya ikut sewot? Karena sewaktu proses review ini, saldo dana tersebut nongolnya di akun saya. Jadi setelah proses review selesai, uang pembayaran tersebut kembali ke saya (pembeli). Aneh sekali - yah, paling tidak menurut saya ini kebijaksanaan yang aneh, yang nalar saya tidak sanggup untuk menerima. Saya sudah menerima TV dan nanti bakal menerima uang pembayarannya juga.

Penjualnya tentu saja kalang kabut. Hampir tiap hari dia SMS / WA saya, apakah dana sudah cair, kalau sudah supaya bisa ditransfer ke dia. Dia juga ada minta bukti foto TV yang telah terpasang di rumah saya dan KTP saya - atas permintaan Tokopedia - tapi tetap aja keputusannya dana di-review dan akan kembali ke pembeli.

Untuk masalah ini saya kecewa dengan Tokopedia. Saya melakukan proses pembelian seperti biasa: menaruh barang di keranjang, bayar, selesai; tapi kali ini setelah saya menerima barang dan mengkonfirmasi penerimaan - yang mana seharusnya urusan sudah beres - saya masih dikejar-kejar penjual yang belum menerima pembayaran. Saya merasa tidak enak juga sama si penjual, wong TV sudah saya setel - tapi faktanya saya belum membayar ke dia, karena dana ditahan oleh perantaranya.

Saya sudah komplain ke contact center Tokopedia dan sudah dijawab setelah beberapa hari - tidak secepat waktu saya komplain speaker cacat itu. Jawabannya sudah fix, sedang direview dan dana akan kembali ke pembeli. Saya pingin membalas surat tersebut sebetulnya, dengan pertanyaan kenapa dana tidak diberikan ke penjual saja, biar dia yang repot ngecek saldo tiap hari - sudah cair atau belum. Setelah saya pikir-pikir lagi, yah biarlah, nanti kalau saya surat menyurat dengan contact center, ntar proses reviewnya tambah lama.

Dana sudah ditahan 7 hari
Bagi yang kurang kerjaan dan kebetulan membaca tulisan ini, bila berniat jualan di Tokopedia, pakailah kurir pilihan pembeli, jangan mengganti seenaknya. Kalau misalnya pembeli lokasinya dekat - karena kebanyakan toko online tidak mencantumkan lokasi - mending transaksinya dibatalkan saja dan janjian COD.

Update.
Setelah libur 2 hari (Kenaikan Isa Al-Masih dan Isra Mi'raj), hari ini tgl 7 Mei 2016 pagi-pagi saya cek lagi, ternyata dana sudah cair. Langsung saya tarik. Tidak sampai 1 jam dana sudah dikirim ke rekening bank saya dan langsung saya kirim ke penjual.