Saya sudah tinggal cukup lama di Jakarta, yah, paling tidak cukup lama untuk bisa merasakan perubahan yang terjadi di kota ini. Salah satunya adalah masalah klasik kota ini : banjir.
Akhir September 1995 saya mulai bekerja di Jakarta sambil ambil kursus di beberapa tempat. Kalau saya tidak salah ingat, awal tahun 1996 saya mulai merasakan apa itu yang namanya banjir. Di kota asal saya, Solo, tidak pernah saya mendapat pengalaman begini. Karena semua orang di Jakarta menganggap banjir ini bagian dari kehidupan Jakarta, ya saya nikmati saja. Saya tetap rajin pergi bekerja dan kursus, baik banjir atau tidak, selama kantor dan tempat kursus itu buka. Saya paling suka kalau diajak berfoto bersama di dalam rumah yang kebanjiran, untuk kenang-kenangan.
Lalu ada cerita bahwa banjir Jakarta ini sudah menjadi agenda lima tahunan. Dan memang benar. Tahun 2002 dan 2007 banjir lima tahunan itu datang. Setelah itu, kalau saya tidak salah ingat lagi, banjirnya sudah bukan lima tahunan lagi, tapi hampir tiap tahun.
Oktober 2012 saya menaruh harapan besar pada duet gubernur dan wakilnya, Jokowi - Ahok.
[Karena saya sudah lama di Jakarta, jadi tidak bisa mengalami perkembangan kota Solo di bawah kepemimpinan Jokowi waktu beliau menjabat walikota. Tapi pernah dengar ayah cerita bahwa kakaknya bilang "Walikotane Solo sing saiki hebat." Maka waktu libur Lebaran tahun 2011, setelah saya sempat ke Solo, jadi terkagum-kagum melihat perkembangan kota yang saya tinggali dari tahun 1974 sampai 1995 itu. Pasar Nusukan dekat tempat tinggal saya dulu bangunannya sudah modern dan jalanan kecil tempat rumah saya dulu sudah diaspal bagus.]
Awal 2013 Jakarta masih banjir, tapi saya tidak berputus harapan. Gubernurnya masih baru, harus diberi kesempatan dan waktu. Benar saja, setelah waduk pluit dirapikan, banjir di daerah saya lumayan berkurang.
Januari -Pebruari 2014 ternyata Jakarta masih banjir. Bedanya - paling tidak di daerah saya - banjirnya 3 hari (18-19-20 Januari 2014) lalu surut; tanggal 29 Januari 2014 banjir sehari lalu surut, dan terakhir 2 hari tanggal 4-5 Pebruari 2014 lalu surut. Huh, capek harus membersihkan lumpur berkali-kali. Kalau dulu banjirnya sekalian 2 minggu nggak surut-surut, jadi membersihkan lumpurnya hanya sekali.
Tahun 2015 banjirnya berkurang lagi, jadi hanya 2 hari (9-10 Pebruari 2016). Sekitar pertengahan tahun 2015 ini juga dibangun tembok/tanggul sepanjang kali dekat rumah saya. Jadi kalau air kali meluap, tidak langsung masuk ke pemukiman seperti dulu, karena sudah ada tanggulnya. Saya terpesona sekali dengan adanya tanggul ini karena tidak terpikir bahwa sungai kecil sepanjang ini bisa dibangunkan tanggul sama pemerintah. Sebagai orang awam, saya tadinya tahunya tanggul itu hanya dibangun dekat pantai sana, seperti cerita dari negeri Belanda. Itu, yang bendungannya retak rambut, lalu ada seorang penduduk yang terpaksa berdiri menutup lubang kecil tersebut dengan jarinya sampai bantuan datang.
Sejak tanggul itu ada, pemukiman tempat tinggal saya belum pernah terendam banjir lagi. Karena sungainya juga rutin dibersihkan, jadi belum pernah meluap juga. Setiap hari Minggu pagi kalau saya lewat di sungai itu, pasti ada petugas yang sedang memunguti sampah dari permukaan sungai. Saya miris melihat sampah-sampah yang seakan tidak ada habisnya itu, dari mana datangnya, siapa yang masih tega buang sampah sembarangan ke kali...
Sejak tanggul itu ada, biarpun hujan lebat beberapa jam, tempat tinggal saya masih belum kebanjiran. Apa hujannya kurang lama atau memang jarang hujan di Jakarta. Soalnya saya pingin (... tapi nggak pingin banget) melihat air sungai naik tinggi dan apakah tanggulnya kuat menahan.
Tapi soal belum banjirnya lagi daerah saya ini bukan karena adanya tanggul saja. Selain petugas yang rutin membersihkan sungai, got-got dan saluran air juga rutin dibersihkan. Kalau dulu warga harus kerja bakti dulu, sekarang warganya jadi malas, karena sudah ada petugas yang membersihkan. Jalanan yang dulu tidak ada hujan pun tergenang, sekarang garing ring. Malah barusan ada got-got yang dibongkar dan diperbesar... dipasangi U-Ditch, itu semacam cetakan dari beton untuk saluran air.
Pekerja-pekerja di tempat kerja saya biasanya lewat suatu jalan tertentu yang kadang tidak ada hujan pun jalanan itu tergenang. Dulu sehabis hujan malam hari, paginya saya biasa tanya ke salah satu pekerja, "Banjir ndak, Pak?" Jawabnya: "Biasalah di depan situ. Harus memutar cari jalan lain." Kalau sekarang ditanya, "Banjir ndak, Pak?" Jawabnya: "Ya nggak lah. Kan got-got-nya sekarang dalam."
[Kalau dulu cara bodon untuk mengatasi banjir yang melanda rumah masing-masing ya saingan tinggi pondasi rumah sama tinggi jalan. Kalau jalanannya tergenang banjir, jalanannya ditinggikan. Setelah jalanan ditinggikan, pemilik rumah yang ada di sepanjang jalan itu harus menambah tinggi pondasi rumahnya. Kalau dia belum punya dana untuk menambah tinggi pondasi rumahnya, ya siap-siap saja rumahnya kebanjiran kalau genangan di jalanan mulai naik. Begitu terus. Sampai ada pemilik rumah yang waktu merenovasi, sekalian bikin pondasinya tinggi 2 meter. Saya pernah ditunjukin rumah yang kelihatan kalau sudah lama tidak ditengok pemiliknya, ini di daerah Semarang, dekat pantai, waktu saya naik mobil travel mau ke bandara; rumah itu dari jalanan kelihatan atapnya saja. Para tetangganya sudah berlomba-lomba menaikkan pondasi rumah, mungkin tiap tahun, balapan dengan tinggi jalan. Kalau pemerintah daerahnya bagus, seharusnya bukan jalanan yang ditinggikan, tapi drainase yang diperbaiki. Drainase harus diperbesar dan diperdalam, serta harus dimaintanen dengan baik, dibersihkan secara rutin. Kalau semua disuruh pengembang yang mengerjakan, hasilnya sepertinya kurang bagus. Lha wong kontraktornya saja bangun rumah asal-asalan. Rumah kecil yang saya beli di Kabupaten Tangerang itu, waktu serah terima, saya menemukan beberapa kebocoran serta finishing aciannya kasar dan bergelombang. Dikasih formulir komplain sih, saya isi, tapi dibilangi tetangga, bahwa komplainan saya tidak bakalan ditindaklanjuti. Setelah 3 bulan didiamkan, akhirnya saya kerjain sendiri saja daripada bikin stress.]
Keadaannya sekarang berbalik. Dulu masa kecil saya di Solo, saya senang sekali kalau hujan deras. Saya senang menikmati suara hujan dan efeknya menimpa tanaman dan bebatuan. Setelah tinggal di Jakarta, setiap hujan deras sebentar, saya pasti tidak bisa tidur dan sebentar-sebentar harus melihat keluar jendela melihat apa di jalanan sudah ada genangan, tingginya seberapa, dan apakah sudah perlu memindahkan barang-barang atau tidak. Sudah setahun ini saya tidak kuatir lagi kalau hujan deras turun selama 2 jam. Bahkan orang-orang tua yang sudah tinggal di daerah ini sejak tahun 1970-an heran kenapa bisa tidak banjir lagi. Kebalikan sama saudara dan teman-teman yang tinggal di Solo yang sekarang was-was kalau hujan deras turun.
Dulu waktu Jokowi maju jadi calon gubernur DKI, kesan pertama saya sama orang yang dipilih jadi wakilnya kurang bagus. Saya sempat kesal, mau apa nih orang minoritas di pemerintahan. Kesan baik saya mulai tumbuh saat Jokowi diwawancara di Mata Najwa dan disuruh menggambarkan wakilnya itu dengan satu kata. Kata yang dipilih Pak Jokowi adalah: "Bersih."
Kemudian dari perkembangannya saya dengar macam-macam cerita tentang Pak Ahok vs DPRD DKI. Kalau soal gaya bicaranya bagi saya tidak ada masalah karena saya ada kenalan 3 orang Belitung yang cara ngomongnya kurang lebih sama. Memang gaya sana mungkin. Tapi satu lagi yang bikin saya terkesan adalah cerita teman kerja saya, teman sekantor, tentang urusan pemakaman umum DKI. Habis ribut-ribut berita di TV tentang adanya makam fiktif, kakak teman saya ini meninggal. Bulan Januari 2016 untuk memperpanjang sewa makam ibunya yang meninggal 2 tahun lalu, teman saya masih mengeluarkan uang 700 ribu rupiah. Kelas III itu. Namun ketika kakaknya meninggal, teman saya hanya membayar 100 ribu rupiah yang harus ditransfer lewat bank. Pengurusannya juga tidak susah, katanya.
Saya biasanya suka iseng nanya ke pesuruh kantor kalau mau pemilihan umum. "Pilih siapa?" Jawabannya di Pilgub 2012 dan Pipres 2014 tetap sama: "Ah, sama saja siapa pun yang jadi pemimpinnya." Tapi akhir-akhir ini kelihatannya dia sudah menyadari bahwa kalau pemimpinnya baik, hasilnya ternyata beda juga dan masyarakat biasa bisa merasakannya.