Kebetulan ada urusan pekerjaan di Manado. Saya yang mengurusi pembelian tiket pesawat. Setelah janjian dengan pembeli di Manado, diputuskan bahwa 2 orang karyawan kami berangkat naik Lion Air dari Cengkareng ke Manado tanggal 1 Agustus 2016 jam 5.00 pagi. Jadwalnya jam 9.20 harusnya sudah sampai Manado.
Jam 3 pagi pekerja yang akan ke Manado sudah berangkat dari start point di Jakarta Barat dan sekitar setengah jam kemudian sudah sampai di bandara. Kira-kira jam 10 pagi, pembeli yang di Manado menelepon menanyakan apakah pekerja dari Jakarta dari bandara Sam Ratulangi naik taksi ke lokasi di Holland Village, atau naik apa, kenapa belum sampai? Saya langsung menelepon salah satu pekerja dan dijawab bahwa mereka masih ada di bandara Cengkareng. Saya kaget juga. Memang pagi itu ada berita delay pesawat Lion Air, tapi terjadinya kemarin; ternyata pekerja kami kena juga. Saya kabari pembeli yang di Manado dan untungnya pembeli bisa maklum.
Akhirnya pekerja kami berangkat juga jam 17.30 WIB dari Cengkareng dan sampai di Manado lewat tengah malam (sekitar jam 1) dan untung di lokasi masih ada pekerja yang lembur yang menawarkan share kontrakan untuk beristirahat. Kemarin siang pekerja kami sudah menyelesaikan pekerjaan di Manado, pulang naik Lion Air lagi (untung penerbangan ini tepat waktu) dan pagi ini sudah masuk kantor kembali.
Pada tanggal 1 Agustus 2016, dari berita saya dengar bahwa 5 penerbangan yang tertunda tersebut hanya dari yang tanggal 31 Juli 2016 saja dan di tanggal 1 Agustus 2016 jadwalnya sudah lancar. Tapi kenapa pekerja kami tidak bisa berangkat tepat waktu? Kemudian siangnya saya baca bahwa ada banyak penumpang yang marah karena ketinggalan pesawat jurusan Manado.
http://news.prokal.co/read/news/1098-parah-penumpang-lion-air-mengamuk-pilot-disandera.html
JAKARTA - Penumpang pesawat Lion Air tujuan Manado, Senin (1/8) pukul 05.00 WIB mengamuk di Bandara Soekarno - Hatta Cengkareng Tangerang - Banten.
Puluhan penumpang itu tak terima ditinggal pesawat, sementara keterlambatan kedatangan bukan karena kesalahan penumpang, namun karena layanan saat pelaporan yang menumpuk.
"Jangan pimpong saya. Tunjukkan yang mana orangnya yang harus bertanggung jawab," bentak penumpang dengan nada tinggi di tengah kepadatan konter check in bandara ini.
Penumpang ini ditinggal pesawat hanya karena kepadatan di terminal yang tidak terhindarkan.
Tak hanya penumpang tujuan Manado, Penumpang tujuan kota lain seperti Balikpapan pun ada yang tertinggal hanya karena sudah terlalu lama dalam antrean check in. [...]
- - - - - - - - - - - - - -
Saya cemas juga waktu baca berita tersebut, waduh jangan-jangan pekerja kami termasuk yang ketinggalan pesawat. Cuma saya memang tidak langsung telepon mereka karena mereka pasti juga sedang kesal, tidak enak hati... Saya sendiri kalau sedang di luar juga kesal kalau ada yang telepon-telepon hp, apalagi kalau urusannya tidak begitu penting. Kalau ketinggalan pesawat, tentunya maskapai bisa berkilah kalau itu bukan salah mereka.
Akhirnya setelah mereka pulang dan kami ketemu lagi, salah satu dari mereka bercerita bahwa di tanggal 1 Agustus tersebut, jam 3.30 pagi mereka sudah mau check-in tapi tidak bisa karena antriannya panjang sekali. Sudah menunggu satu jam lebih tapi antriannya bergerak maju pun tidak. Bahkan kemudian terdengar panggilan terakhir pesawat JT0770 tersebut. Tapi bisa apa? Meja check-in yang dibuka hanya 3. Di antrian sebelah juga ketemu orang yang akan menumpang pesawat yang sama, yang bisa ditebak, tentunya dia bakal ketinggalan juga. Biasanya hati agak ayem kalau ketemu orang yang senasib sependeritaan. Mendingan lah kalau bisa telat berjamaah.
Saya tanya pada sang pekerja: tentunya dapat kompensasi dong? Nasi kotak dapat?
Ternyata tidak dapat apa-apa sama sekali karena, katanya, kesalahan bukan pesawatnya yang delay. Memang iya sih, peraturan menteri perhubungan itu hanya tentang kompensasi yang akan diterima penumpang kalau pesawatnya terlambat.
Kasihan sekali pekerja kami ini. Penerbangan tertunda 12 jam lebih dan karena dia kelas pekerja, jelas saja sayang membeli makanan di dalam bandara yang jelas mahal. Dia tanya pada orang yang membeli nasi kotak, berapa harganya? Dijawab: 40 ribu rupiah. Tentunya si pekerja tidak berani mengeluarkan uang sebanyak itu untuk sekali makan. Untungnya waktu berangkat, anaknya sempat membekali beberapa potong roti tawar. Roti inilah yang menjadi ganjal perut selama 12 jam, itu pun harus dibagi dengan pekerja satunya.
Saya berharap ke depannya ada kebijaksanaan, bagaimana kalau penumpang tertahan di bandara karena penumpang menumpuk dan menyebabkan tidak bisa check-in? Apakah maskapai bisa lepas tangan begitu saja dan tidak memberikan kompensasi sama sekali?
Mungkin perlu ada mesin check-in mandiri, sejenis mesin cetak tiket mandiri di stasiun kereta api; sehingga yang tidak ada bagasi bisa melakukan check-in sendiri. Hal ini tentunya membantu mengurangi antrian. Tidak semua orang mempunyai smartphone, tablet atau laptop, sehingga keberadaan mesin check-in mandiri mungkin bisa membantu.
Kalau saya pribadi sih lebih memilih naik Garuda, yang meskipun kadang delay juga tapi masih bisa lebih diandalkan daripada Lion Air; tapi kalau untuk pekerjaan, memang kami selalu memilih tiket yang murah karena bakal minta ganti ke pembeli. Tidak etis tentunya kalau saya membeli tiket yang paling mahal.